Pasal 49
PENEGUHAN PERNIKAHAN DAN PEMBERKATAN
PERKAWINAN GEREJAWI

(1)       Pengertian Pernikahan Gerejawi:
1.   Pernikahan gerejawi adalah peneguhan pernikahan dan pemberkatan perkawinan secara gerejawi bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam ikatan perjanjian seumur hidup sebagai suami isteri yang bersifat monogami.
2.   Pernikahan gerejawi dinyatakan sah apabila diberkati sesuai dengan pertelaan yang berlaku dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
3.   Pernikahan gerejawi dilakukan di tempat kebaktian yang ditetapkan oleh Majelis Gereja.
(2)       Syarat-syarat Pernikahan Gerejawi:
1.   Kedua atau salah satu calon mempelai adalah warga dewasa yang tidak berada dalam pamerdi.
2.   Telah mengikuti Katekisasi Pra Nikah yang diselenggarakan oleh Majelis Gereja.
3.   Telah melengkapi syarat-syarat administrasi yang dibutuhkan oleh gereja.
4.   Telah melengkapi syarat-syarat administrasi yang dibutuhkan untuk pencatatan perkawinan secara negarawi.
(3)       Prosedur Pernikahan Gerejawi:
1.   Calon mempelai mengajukan permohonan kepada Majelis Gereja dengan mengisi formulir yang telah disediakan oleh Majelis Gereja selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum pelaksanaan Pernikahan gerejawi.
2.   Calon mempelai wajib mengikuti:
a.   Katekisasi Pra Nikah yang diselenggarakan oleh Majelis Gereja agar memahami dasar-dasar dan sifat Pernikahan Kristen, motivasi pernikahan Kristen, tanggung jawab keluarga Kristen, dan hal-hal lain yang perlu.
b.   Percakapan gerejawi yang diselenggarakan oleh Majelis Gereja mengenai kesungguhan maksud pernikahan dan kesungguhan menjaga kekudusan pernikahan.
3.   Apabila Majelis Gereja memutuskan menerima permohonan calon mempelai, maka rencana Pernikahan gerejawi diwartakan dalam kebaktian hari Minggu 2 (dua) minggu berturut-turut.
4.   Setelah  diwartakan ternyata tidak ada keberatan yang sah yang diajukan kepada Majelis Gereja, maka pernikahan dapat dilaksanakan dalam Kebaktian Khusus dengan menggunakan pertelaan yang berlaku di Sinode GKJ.
5.   Jika ada keberatan yang sah, Majelis Gereja menangguhkan pelaksanaan pernikahan gerejawi itu sampai persoalannya selesai atau Majelis Gereja dapat membatalkan pelaksanaannya.
6.   Bagi calon mempelai yang salah satunya warga gereja lain, maka ia harus membawa surat penyerahan pernikahan dari Gereja asalnya.
7.   Bagi calon mempelai yang salah satunya bukan warga gereja, berlaku ketentuan tambahan, ia harus bersedia menyatakan secara tertulis bahwa :
a.   Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati di GKJ.
b.   Ia memberi kebebasan kepada suami/isterinya untuk tetap hidup dan beribadat di GKJ.
c.   Ia setuju keluarganya dididik secara kristiani.
d.   Ia memberi kebebasan bagi anak-anak mereka apabila atas keinginannya akan bergereja di GKJ.
8.   Majelis Gereja dimungkinkan untuk melaksanakan pernikahan gerejawi secara oikumenis dengan Gereja Katholik sesuai dengan kesepakatan pihak Majelis Gereja yang bersangkutan dengan pihak Gereja Katholik.
(4)       Pernikahan gerejawi atas titipan Gereja lain diatur sebagai berikut:
1.   Majelis Gereja dapat melayankan pernikahan gerejawi atas penyerahan tertulis dari Gereja lain.
2.   Ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan ayat 1-3 pasal ini.
(5)       Penitipan Pernikahan Gerejawi ke Gereja lain diatur sebagai berikut:
1.   Salah satu atau kedua Calon mempelai wajib mengajukan permohonan penitipan pernikahan gerejawi ke Gereja lain kepada Majelis Gereja asalnya dengan disertai syarat-syarat sebagaimana ayat 2 pasal ini.
2.   Majelis Gereja yang menitipkan membuat surat penyerahan pelaksanaan Pernikahan Gerejawi kepada Majelis Gereja yang dititipi.
3.   Majelis Gereja yang menitipkan atau Majelis Gereja yang dititipi mengadakan proses Katekisasi Pra Nikah dan percakapan gerejawi sebagaimana ayat  (3).2. pasal ini.
4.   Hal pelaksanaan pernikahan gerejawi di Gereja yang dititipi diwartakan dalam kebaktian hari Minggu   2 (dua) minggu berturut-turut oleh gereja yang melayani dan Gereja asal Warga Gereja tersebut.

Pasal 50
PERCERAIAN

(1)       Pada dasarnya Gereja tidak dapat membenarkan adanya perceraian, karena perceraian adalah dosa.
(2)       Gereja berkewajiban mendampingi dengan intensif bagi warga yang hendak bercerai sampai dapat mengambil keputusan etis yang bertanggung jawab.
(3)       Gereja berkewajiban menggembalakan warga yang telah bercerai sampai warga tersebut menyatakan pertobatan.

Pasal 51
PERNIKAHAN JANDA/DUDA CERAI

Janda atau duda cerai dan hendak melakukan pernikahan gereja dapat dilayani oleh gereja dengan terlebih dahulu menyatakan pertobatannya. Permohonan dapat dipenuhi sesuai dengan ketentuan pasal 49.

Pasal 52
PERKUNJUNGAN

(1)       Perkunjungan adalah kegiatan melawat warga Gereja sebagai salah satu wujud pemeliharaan iman yang dilakukan dan dijiwai oleh kasih Kristus, agar warga Gereja hidup dalam damai sejahtera berdasar iman Kristen.
(2)       Perkunjungan  dilakukan oleh Majelis Gereja bagi warga Gereja, warga Gereja bagi sesamanya, Majelis Gereja bagi sesama anggota Majelis Gereja, dan warga Gereja bagi anggota Majelis Gereja.
(3)       Dalam perkunjungan perlu ada percakapan tentang Firman Tuhan, percakapan pergumulan iman atau hidup warga Gereja sehari-hari, dan doa.
(4)       Hal-hal yang ditemukan dalam perkunjungan yaitu pergumulan-pergumulan pribadi  yang bersifat rahasia bagi pihak yang dikunjungi tidak boleh disebarluaskan.

Pasal 53
PEMBINAAN WARGA GEREJA (PWG)

(1)       Majelis Gereja melakukan Pembinaan Warga Gereja (PWG) dalam rangka melaksanakan fungsi Pemeliharaan Iman atau Penggembalaan Warga Gereja.
(2)       Tujuan PWG adalah agar warga Gereja sebagai orang yang telah diselamatkan, mampu menjalani kehidupan di dunia dengan layak dan wajar, dengan iman yang benar dan teguh, serta berfungsi dalam pekerjaan penyelamatan Allah menuju penyempurnaan keselamatan dalam kemuliaan Kristus.
(3)       PWG dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.   Pada dasarnya PWG adalah tanggung jawab Majelis Gereja, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, maupun evaluasinya.
2.   Sesuai dengan jabatan Imamat Am orang percaya, segenap warga Gereja ikut melaksanakan PWG.
3.   PWG dilakukan bagi semua warga Gereja sebagai manusia seutuhnya dalam kondisi nyata.
4.   PWG harus memperhatikan tingkat perkembangan fisik, psikis, kemampuan seseorang, wilayah, dan kategori umur, serta profesi atau fungsi.
5.   PWG dilaksanakan secara teratur, terencana, dan selamanya.
6.   Hubungan antara yang membina dan yang dibina adalah saling sebagai subyek.
(4)       Pelaksanaan teknis PWG yang berkenaan dengan materi, cara atau metode, dan bentuk, baik berupa kegiatan gerejawi maupun kegiatan masyarakat ditentukan oleh Majelis Gereja, Klasis ataupun Sinode.

Pasal 54
PELAYANAN SOSIAL EKONOMI

(1)       Pelayanan sosial ekonomi adalah tindakan yang dilakukan oleh Gereja untuk memberdayakan warga Gereja mengatasi kesulitan dalam hal kebutuhan sosial ekonomi demi terpelihara imannya.
(2)       Pelayanan sosial ekonomi  yang dilakukan oleh Gereja dapat bersifat konsumtif (Kharitatif), pemberdayaan (Reformatif), dan penyadaran (Transformatif).